Sabtu, 15 Agustus 2015

Urgensi Dekonstruksi Epistimologi Sufi



Urgensi Dekonstruksi Epistimologi Sufi

“Ketika aku dan realitas tidak ada maka Tuhan ada” itulah hakikat dari ada. Pernahkah kita mendengar atau membaca teori tersebut dan melakukan refeksi kritis dalam hidup ini apa eksistensi alam dan apa eksistensi dari Tuhan? Dan mengambil benang merah dari tiga hal itu ? Hal itulah yang saya coba komentari lewat tulisan ini meski berdiri diatas landasan relativisme dari anak muda yang tidak jelas seperti saya ini.
Cara pandang ummat saat ini dengan meyakini suatu wujud yang dalam pemahamannya Tuhan ada dan ciptaannyapun ada, dari wujud yang lain merupakan argumentasi mayoritas ummat.  Padahal bukankah jika kita telaah lebih dalam lagi argumentasi tersebut terdapat reposisi yang tidak jelas akibat ketidaksesuaian dari kausa prima yang diyakni sebagai Tuhan dan ciptaan sebagai objek yang lebih nyata dan dapat diverifikasi kebenarannya.
Realitas yang dapat disentuh oleh ilmu sains membuat cara pandang manusia semakin mengkritisi diri seraya melakukan dekonstruksi pemahanan terhadap realitas. Saya sering memberikan analogi sederhana ketika berdiskusi dengan teman “apakah mungkin sesuatu yang jika dia diyakini ada bisa membuat sebuah sepeda motor dari bahan yang tidak ada atau dari yang non materi ? tentu akan berbenturan dengan Ilmu sains jika dijawab dengan keyakinan.
Pertanyaan singkatpun keluar, “Betulkah klaim manusia cerah  betul-betul terbebaskan dari belenggu takhayyul meski dia beragama dengan sekaligus punya kehendak akan kebenaran sains?” jawaban seorang filsuf jerman Fredrich Nitezche TIDAK. Manusia yang merasa dirinya cerah  dari tkhayyul namun punya keyakinan agama sekaligus punya kehendank akan kebenaran sains maka selama itulah manusia tersebut dianggap sebagai manusia dengan kehendak yang lemah dan cacat.
Gagasan progresif dari dunia barat menganggap bahwa manusia maju jika sampai pada rana sains yang pernah keluar dari mulut seorang filsuf Prancis yakni Aguste Comte pendiri mazhab Positivisme dalam filsafat tentang teori kemajuan atau progresif peradaban manusia. Dengan beralihnya kehendak manusia memahami pertanyaan-pertanyaan yang sulit untuk dijawab. Seperti “kenapa Tuhan memberikan cobaan?, kenapa Tuhan menghendaki Tsunami, kenapa Tuhan memberikan tidak mengabulkan do’a? dan lain sebagainya.” Kemudian beralih ke zaman metafisik dengan mulai mengabstrakkan alam semesta ini bukan lagi entitas supranatural tetapi dalam konsep abstrak seperti kausa sui penyebab karena dirinya sendiri. Hal itu kemudian beralih lagi ke Ilmu yang lebih nyata seperti matematik, sains maupun sosiologi.
Lalu berkembangnya peradaban manusia pada awal-awal abad 21 muncul teori bahwa dunia modern akan mendorong manusia semakin tidak beragama yang disebut teori sekularisasi  dan meyakini masa depan dunia adalah masa depan atheism lewat kemajuan Ilmu Sains. Pengaruh teori tersebut melahirkan tendensi terhadap cara pandang ummat dengan menyikapi materi sebagai Tuhan yang lain selain dari Tuhan dalam Ilmu teologi yang kemudian menghasilkan cara pandang yang sekular yang jauh sebelum itu sudah pernah ada yaitu ide double truth yang pernah dinyatakan oleh seorang Filsuf muslim yaitu Ibnu Rusyd yang di mana sangat bertentangan dengan konsep Imam Al-Ghazali yang menaruh banyak perhatian terhadap ke Maha Mutlakan Allah SWT. Lalu bagaimana reposisi yang seharusnya ditempuh untuk memahami teka-teki relasi dari Tuhan, Manusia, dan Alam Semesta?
Untuk membangun konstruksi pemahanan kita, mari kita tengok teori dekonstruksi epistimologi sufi dengan konsep peleburuan hamba dengan Tuhan sebagai wujud dari persoalan teka-teki yang ada pada manusia dan alam semesta.
Berangkat dari fenomena sosial yang merupakan hasil dari cetakan dunia pendidikan mengahasilkan manusia-manusia yang liar atau manusia-manusia yang tak terkendali dengan cara pandang  yang cenderung matrealistik yang hanya berorientasi pada kesuksesan dunia semata yang kemudian akan mengiring kearah dunia ekonomi kapitalis.
Cara pandang umat ISLAM mayoritas saat ini yang berburu sukses, berburu membusungkan dada, berburu Ijabah, berburu karomah, berburu hebat, berburu menang. Padahal kalau ini dibenturkan kepadan dunia sufi terutama dalam konstruksi epistimologi sufi ini merupakan hijab atau penghalang untuk mengambil relasi antara manusia dengan Tuhan. Sebab cara pandang yang matrealis seperti itu akan sering mengatur Tuhan untuk mengikuti selera dia.
Cara pandang yang matrealis ini merasuk kepada pemahaman Teologis dengan maraknya orang yang  memahami agama hanya pada orieantasi hukum  dengan menaruh banyak perhatian terhadap pahala dan dosa bukan memaknai agama secara substantive dengan orientasi akhlak dan cinta kasih. Doktrin pahala dan dosa semestinya diposisikan bukan sebagai puncak dari keberagamaan, karena orang semacam ini akan hanya beribadah dan taat pada tuhan dengan konsep tawar menawar dengan Tuhan dengan berkata “Apa untungnya Tuhan jika saya taat pada Engkau ?”
Penempatan dosa dan pahala tidak seharusnya diposisikan seperti itu karena inti dari keberagamaan kita adalah KETAATAN. Dalam teori epistimologi sufi “Atta’a afdhalu min syawabiha” Ketaatan lebih utama dari pahala. Dalam salah satu hadist dinyatakan “Rakataini fi shalah afdhalu minal jannah wama fiiha” Dua Rakaat dalam shalat lebih  utama dari surga seisinya. Olehnya itu  mindset ummat agama Islam perlu didekonstruksi seperti itu sebab jika tidak ummat akan menjadi manusia yang hedonis bahkan matrealis.
Dan begitulah cara pandang ummat yang terjadi pada zaman modern sekarang. Ummat muslim yang terpengaruh dengan psikologi barat yang mengeksplorasi ke-AKU_an. Para trainer dan para motivator terus memompa kepada diri kita dengan berkata “Aku bisa, Aku hebat, Aku berdaya, Aku menarik, Aku sukses” samapi kepada motto dari seorang Filsuf Rene Descartes “Aku berfikir maka aku ada”.
Cara pandang semacam itu yang mengeksplorasi ke_Aku_an justru akan menjadi hijab atau penghalang memahami kebenaran. Kesenangan manusia memakai pronoun “AKU” membuatnya angkuh tidak tau diri dihadapan Tuhan dan selalu berdiri seraya merasakan “Ana Khairum Minkum” Aku lebih baik dari kalian sehingga jarak manusia dan Tuhan semakin jauh nan bersekat. Apakah anda pernah mendengar kisah nabi Musa yang gagal melihat Tuhan? Yang sudah terpengeruh cara pandang Firaun yang sangat mengeksplorasi ke-Aku-an sehingga pemikiran filosofisnya membuatnya angkuh untuk ingin melihat Tuhan? Nabi Musa berkata “Ya TuhanKU, nampakkanlah (diri ENGKAU) kepada AKU agar AKU dapat melihat kepada ENGKAU". Lalu Tuhan berfirman: "KAMU sekali-kali tidak sanggup melihat-KU(Surah Al A'raf 143)
Maka reposisi yang ditawarkan oleh teori epistimologi sufi adalah peluburan hamba dengan Tuhan karena dengan itulah seluruh polemic kerutan – kerutan filsafat dan polemic ilmu-ilmu lainnya dapat terjawab. Memahami hakikat realitas harus menggapai penciptanya terlebih dahulu karena konsep dalam agama Islam “Allahu muhitum bukulli syaiin” Allah meliputi segalanya. Betapa rumit jika kita memposisikan filsafat puncak dari kebenaran sama halnya dengan uraian pembongkaran yang saya uraikan sebelumnya diatas. Dari pelajaran itu seharusnya kita bertanya dalam diri kita sumber dari filsafat itu apa ? tentu jawaban agama kita adalah  dzat yang tidak berawal dan tidak berakhir yaitu Allah Swt.
Menutup tulisan ini, maka saya tutup dengan uraian dari ilustrasi yang pernah dinyatakan oleh DR. Lukman Hakim yang menerangkan penghadapan manusia terhadap Tuhan. Ketika kita dihadapkan dengan “Bismillahirrahmanirrahim” menurut mata itu adalah tulisan dan huruf, menurut fikiran kita itu adalah tulisan dengan makna dengan nama Allah yang maha pengasih lagi maha penyayang, menurut akal kita dari situ ada nilai nilai kebenaran dibalik huruf-hurufnya, menurut nafsu kita adalah apa untungnya saya membacanya, menurut kalbu kita maka kita membacanya disertai asma dan sifat Allah dari setiap hurufnya, dan kalau yang membacanya Sirr kita maka dia akan berkata bahwa basmalah itu adalah aku.
Maka hal ini yang diekspresikan oleh Al-Hallaj dan Syekh Sitti Jenar yang berkata ”Ana alHaq”  akulah kebenaran dan “Ana Allah” Aku Allah, karena yang mengespresikan ucapan mereka itu adalah Sirr mereka yakni bagian terdalam dari manusia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar