Urgensi
Dekonstruksi Epistimologi Sufi
“Ketika aku
dan realitas tidak ada maka Tuhan ada” itulah hakikat dari ada. Pernahkah kita mendengar
atau membaca teori tersebut dan melakukan refeksi kritis dalam hidup ini apa
eksistensi alam dan apa eksistensi dari Tuhan? Dan mengambil benang merah dari
tiga hal itu ? Hal itulah yang saya coba komentari lewat tulisan ini meski
berdiri diatas landasan relativisme dari anak muda yang tidak jelas seperti
saya ini.
Cara pandang
ummat saat ini dengan meyakini suatu wujud yang dalam pemahamannya Tuhan ada
dan ciptaannyapun ada, dari wujud yang lain merupakan argumentasi mayoritas
ummat. Padahal bukankah jika kita telaah
lebih dalam lagi argumentasi tersebut terdapat reposisi yang tidak jelas akibat
ketidaksesuaian dari kausa prima yang diyakni sebagai Tuhan dan ciptaan sebagai
objek yang lebih nyata dan dapat diverifikasi kebenarannya.
Realitas yang
dapat disentuh oleh ilmu sains membuat cara pandang manusia semakin mengkritisi
diri seraya melakukan dekonstruksi pemahanan terhadap realitas. Saya sering
memberikan analogi sederhana ketika berdiskusi dengan teman “apakah mungkin sesuatu
yang jika dia diyakini ada bisa membuat sebuah sepeda motor dari bahan yang
tidak ada atau dari yang non materi ? tentu akan berbenturan dengan Ilmu sains
jika dijawab dengan keyakinan.
Pertanyaan
singkatpun keluar, “Betulkah klaim manusia cerah betul-betul terbebaskan dari belenggu
takhayyul meski dia beragama dengan sekaligus punya kehendak akan kebenaran
sains?” jawaban seorang filsuf jerman Fredrich Nitezche TIDAK. Manusia yang
merasa dirinya cerah dari tkhayyul namun
punya keyakinan agama sekaligus punya kehendank akan kebenaran sains maka
selama itulah manusia tersebut dianggap sebagai manusia dengan kehendak yang
lemah dan cacat.
Gagasan
progresif dari dunia barat menganggap bahwa manusia maju jika sampai pada rana
sains yang pernah keluar dari mulut seorang filsuf Prancis yakni Aguste Comte pendiri
mazhab Positivisme dalam filsafat tentang teori kemajuan atau progresif
peradaban manusia. Dengan beralihnya kehendak manusia memahami pertanyaan-pertanyaan
yang sulit untuk dijawab. Seperti “kenapa Tuhan memberikan cobaan?, kenapa
Tuhan menghendaki Tsunami, kenapa Tuhan memberikan tidak mengabulkan do’a? dan lain
sebagainya.” Kemudian beralih ke zaman metafisik dengan mulai mengabstrakkan
alam semesta ini bukan lagi entitas supranatural tetapi dalam konsep abstrak
seperti kausa sui penyebab karena dirinya sendiri. Hal itu kemudian beralih lagi
ke Ilmu yang lebih nyata seperti matematik, sains maupun sosiologi.
Lalu
berkembangnya peradaban manusia pada awal-awal abad 21 muncul teori bahwa dunia
modern akan mendorong manusia semakin tidak beragama yang disebut teori
sekularisasi dan meyakini masa depan
dunia adalah masa depan atheism lewat kemajuan Ilmu Sains. Pengaruh teori
tersebut melahirkan tendensi terhadap cara pandang ummat dengan menyikapi
materi sebagai Tuhan yang lain selain dari Tuhan dalam Ilmu teologi yang
kemudian menghasilkan cara pandang yang sekular yang jauh sebelum itu sudah
pernah ada yaitu ide double truth yang pernah dinyatakan oleh seorang Filsuf
muslim yaitu Ibnu Rusyd yang di mana sangat bertentangan dengan konsep Imam
Al-Ghazali yang menaruh banyak perhatian terhadap ke Maha Mutlakan Allah SWT.
Lalu bagaimana reposisi yang seharusnya ditempuh untuk memahami teka-teki
relasi dari Tuhan, Manusia, dan Alam Semesta?
Untuk
membangun konstruksi pemahanan kita, mari kita tengok teori dekonstruksi
epistimologi sufi dengan konsep peleburuan hamba dengan Tuhan sebagai wujud
dari persoalan teka-teki yang ada pada manusia dan alam semesta.
Berangkat dari
fenomena sosial yang merupakan hasil dari cetakan dunia pendidikan
mengahasilkan manusia-manusia yang liar atau manusia-manusia yang tak
terkendali dengan cara pandang yang
cenderung matrealistik yang hanya berorientasi pada kesuksesan dunia semata
yang kemudian akan mengiring kearah dunia ekonomi kapitalis.
Cara pandang
umat ISLAM mayoritas saat ini yang berburu sukses, berburu membusungkan dada,
berburu Ijabah, berburu karomah, berburu hebat, berburu menang. Padahal kalau
ini dibenturkan kepadan dunia sufi terutama dalam konstruksi epistimologi sufi
ini merupakan hijab atau penghalang untuk mengambil relasi antara manusia
dengan Tuhan. Sebab cara pandang yang matrealis seperti itu akan sering
mengatur Tuhan untuk mengikuti selera dia.
Cara pandang
yang matrealis ini merasuk kepada pemahaman Teologis dengan maraknya orang
yang memahami agama hanya pada
orieantasi hukum dengan menaruh banyak
perhatian terhadap pahala dan dosa bukan memaknai agama secara substantive
dengan orientasi akhlak dan cinta kasih. Doktrin pahala dan dosa semestinya
diposisikan bukan sebagai puncak dari keberagamaan, karena orang semacam ini
akan hanya beribadah dan taat pada tuhan dengan konsep tawar menawar dengan
Tuhan dengan berkata “Apa untungnya Tuhan jika saya taat pada Engkau ?”
Penempatan
dosa dan pahala tidak seharusnya diposisikan seperti itu karena inti dari
keberagamaan kita adalah KETAATAN. Dalam teori epistimologi sufi “Atta’a afdhalu min syawabiha” Ketaatan
lebih utama dari pahala. Dalam salah satu hadist dinyatakan “Rakataini fi shalah afdhalu minal jannah
wama fiiha” Dua Rakaat dalam shalat lebih
utama dari surga seisinya. Olehnya itu
mindset ummat agama Islam perlu didekonstruksi seperti itu sebab jika
tidak ummat akan menjadi manusia yang hedonis bahkan matrealis.
Dan begitulah
cara pandang ummat yang terjadi pada zaman modern sekarang. Ummat muslim yang
terpengaruh dengan psikologi barat yang mengeksplorasi ke-AKU_an. Para trainer
dan para motivator terus memompa kepada diri kita dengan berkata “Aku bisa, Aku
hebat, Aku berdaya, Aku menarik, Aku sukses” samapi kepada motto dari seorang
Filsuf Rene Descartes “Aku berfikir maka aku ada”.
Cara pandang
semacam itu yang mengeksplorasi ke_Aku_an justru akan menjadi hijab atau
penghalang memahami kebenaran. Kesenangan manusia memakai pronoun “AKU”
membuatnya angkuh tidak tau diri dihadapan Tuhan dan selalu berdiri seraya
merasakan “Ana Khairum Minkum” Aku
lebih baik dari kalian sehingga jarak manusia dan Tuhan semakin jauh nan
bersekat. Apakah anda pernah mendengar kisah nabi Musa yang gagal melihat Tuhan?
Yang sudah terpengeruh cara pandang Firaun yang sangat mengeksplorasi ke-Aku-an
sehingga pemikiran filosofisnya membuatnya angkuh untuk ingin melihat Tuhan?
Nabi Musa berkata “Ya TuhanKU, nampakkanlah
(diri ENGKAU) kepada AKU agar AKU dapat melihat kepada ENGKAU". Lalu Tuhan berfirman: "KAMU sekali-kali tidak sanggup melihat-KU”(Surah Al A'raf 143)
Maka reposisi
yang ditawarkan oleh teori epistimologi sufi adalah peluburan hamba dengan
Tuhan karena dengan itulah seluruh polemic kerutan – kerutan filsafat dan
polemic ilmu-ilmu lainnya dapat terjawab. Memahami hakikat realitas harus
menggapai penciptanya terlebih dahulu karena konsep dalam agama Islam “Allahu muhitum bukulli syaiin” Allah
meliputi segalanya. Betapa rumit jika kita memposisikan filsafat puncak dari kebenaran
sama halnya dengan uraian pembongkaran yang saya uraikan sebelumnya diatas.
Dari pelajaran itu seharusnya kita bertanya dalam diri kita sumber dari
filsafat itu apa ? tentu jawaban agama kita adalah dzat yang tidak berawal dan tidak berakhir
yaitu Allah Swt.
Menutup
tulisan ini, maka saya tutup dengan uraian dari ilustrasi yang pernah
dinyatakan oleh DR. Lukman Hakim yang menerangkan penghadapan manusia terhadap
Tuhan. Ketika kita dihadapkan dengan “Bismillahirrahmanirrahim”
menurut mata itu adalah tulisan dan huruf, menurut fikiran kita itu adalah tulisan
dengan makna dengan nama Allah yang maha pengasih lagi maha penyayang, menurut
akal kita dari situ ada nilai nilai kebenaran dibalik huruf-hurufnya, menurut
nafsu kita adalah apa untungnya saya membacanya, menurut kalbu kita maka kita
membacanya disertai asma dan sifat Allah dari setiap hurufnya, dan kalau yang
membacanya Sirr kita maka dia akan berkata bahwa basmalah itu adalah aku.
Maka hal ini
yang diekspresikan oleh Al-Hallaj dan Syekh Sitti Jenar yang berkata ”Ana
alHaq” akulah kebenaran dan “Ana Allah”
Aku Allah, karena yang mengespresikan ucapan mereka itu adalah Sirr mereka
yakni bagian terdalam dari manusia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar